25 Agustus 2024

Prinsip Coaching

 


Prinsip Coaching

Definisi coaching menurut ICF (International Coaching Federation) adalah “Hubungan kemitraan dengan klien, dalam suatu percakapan yang kreatif dan memicu pemikiran, untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional klien”.  Prinsip coaching dikembangkan dari tiga kata kunci pada definisi coaching tersebut, yaitu “kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi”.  Dalam berinteraksi dengan kepala sekolah atau siapa saja, kita dapat menggunakan ketiga prinsip coaching tersebut dalam rangka memberdayakan orang yang sedang kita ajak berinteraksi. 

1.    Kemitraan

Dalam coaching, posisi coach dan coachee mitra yang setara, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Coachee adalah sumber belajar bagi dirinya sendiri.  Coach merupakan rekan berpikir bagi coachee-nya dalam membantu coachee belajar dari dirinya sendiri. Coach bisa berbagi mengenai pengalamannya yang terkait dengan topik pengembangan coachee, namun hanya jika diminta oleh coachee, sebagai salah satu sumber belajar bagi coachee

Kemitraan ini diwujudkan dengan cara kita membangun kesetaraan dengan orang yang akan kita kembangkan, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah di antara keduanya. Kesetaraan dapat dibangun dengan cara menumbuhkan rasa percaya diri kita, pada saat kita akan mengembangkan rekan sejawat yang lebih tua, lebih senior, dan atau lebih berpengalaman. Sebaliknya, kita perlu menumbuhkan rasa rendah hati pada saat rekan sejawat yang akan kita kembangkan adalah rekan yang lebih muda, lebih junior, dan atau memiliki pengalaman yang lebih sedikit dari kita. Kemitraan dalam mengembangkan rekan sejawat, juga ditunjukkan dengan cara mengedepankan tujuan rekan yang akan kita kembangkan. Tujuan pengembangan ditetapkan oleh rekan yang yang akan dikembangkan, bukan oleh kita, yang akan membantu pengembangan tersebut. Mengapa? Dengan demikian, harapannya rekan yang kita kembangkan akan lebih merasa termotivasi dan berkomitmen dalam prosesnya.

Pertanyaan yang bisa dilontarkan oleh kita kepada coachee  untuk membangun kemitraan ini adalah sebagai berikut:

1.    Apa yang ingin Bapak/Ibu kembangkan dalam enam bulan ke depan?

2.    Apa yang ingin Bapak/Ibu capai di akhir semester/tahun pelajaran ini?

3.    Di antara standar proses pembelajaran yang kita miliki, bagian mana yang menurut Bapak/Ibu paling perlu Bapak/Ibu tingkatkan/kembangkan?

2.    Proses Kreatif

Coaching adalah proses mengantarkan seseorang dari situasi dia saat ini ke situasi ideal yang diinginkan di masa depan. Diperlukan proses kreatif untuk mencapai tujuan tersebut.  Proses kreatif dalam percakapan coaching adalah proses memantik pemikiran baru dalam benak coachee. Kreatif disini juga berarti kemampuan coach membuat coachee berpikir.  Proses kreatif ini dilakukan melalui percakapan yang:

1.    dua arah 

2.    memicu proses berpikir coachee

3.    memetakan dan menggali situasi coachee untuk menghasilkan ide-ide baru

 

Agar proses kreatif dapat terjadi, seorang coach harus hadir secara utuh, mendengarkan coachee secara aktif untuk kemudian melontarkan pertanyaan agar coachee memahami situasi dirinya, situasi ideal yang dia inginkan, serta langkah-langkah untuk membawa dia dari situasi dia saat ini ke situasi ideal yang dia inginkan. 

Pada saat kita menggunakan prinsip coaching dalam mengembangkan kompetensi diri coachee, maka percakapan yang berlangsung adalah dua arah. Yang kita lakukan adalah mendengarkan coachee dan kemudian melontarkan pertanyaan untuk membantu rekan kita untuk lebih memahami situasi dirinya, situasi ideal yang dia inginkan, serta langkah-langkah untuk membawa dia dari situasi dia saat ini ke situasi ideal yang dia inginkan.

Prinsip ini dapat membantu seseorang untuk menjadi otonom karena dalam prosesnya orang yang dikembangkan perlu untuk berpikir ke dalam dirinya untuk mendapat kesadaran diri akan situasinya dan kemudian menemukan langkah-langkah apa yang perlu dilakukan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Berikut adalah percakapan yang menggambarkan proses kreatif antara pengawas sekolah yang mendampingi kepala sekolah dalam mengembangkan kompetensi dirinya.

Coach 

Di antara kompetensi kepala sekolah yang tersedia, bagian mana yang menurut Ibu paling perlu dikembangkan atau ditingkatkan?

Coachee

Saya ingin mengembangkan kemampuan supervisi akademik berbasis coaching supaya guru-guru di sekolah menjadi mandiri dalam menerapkan pembelajaran yang berpihak pada murid.

Coach

Oh, jadi Ibu ingin mengembangkan kemampuan untuk melakukan supervisi akademik berbasis coaching untuk pengembangan diri guru dalam pembelajaran ya.  Apa sih indikator bahwa Ibu sudah bisa menerapkan supervisi akademik berbasis coaching?

Coachee

Indikatornya, guru-guru merasa tidak lagi takut dan khawatir untuk disupervisi sebaliknya mereka menikmati manfaatnya karena dampaknya untuk pengembangan dirinya supaya dapat menerapkan pembelajaran yang berpihak pada murid.

Coach

Jadi indikatornya apabila guru tidak lagi merasa takut dan khawatir karena mendapatkan manfaat dari supervisi akademik untuk pengembangan

dirinya, betul begitu ya? 

Coachee

Iya betul Pak.

Coach

Nah, sehubungan dengan tujuan tersebut, skala 1-10, jika 10 Ibu sudah dapat menerapkan supervisi berbasis coaching, dan 0 belum memenuhi, Ibu saat ini ada di angka berapa ya?

Coachee

Sepertinya saya masih di angka 6 deh, Pak.

Coach

Di angka 6? Seperti apa itu angka 6 ya Bu? Bisa dijelaskan?

Coachee

Di angka 6 karena saat ini saya baru diperkenalkan dengan pendekatan coaching untuk Supervisi Akademik.  Sepertinya saya masih fokus di observasi dan percakapan pasca observasi. Saya belum menerapkan prinsip kemitraan dengan membuat kesepakatan di percakapan pra observasi untuk menentukan bersama kompetensi yang ingin dikembangkan dan aspek-aspek yang perlu diobservasi.

Coach

Oh baik Bu, apabila saat ini situasinya ada di angkat 6, Ibu ingin meningkatkannya menjadi angka berapa dalam beberapa bulan ke depan?

Coachee

Ditingkatkan ke angka 8 deh pak.

Coach

Angka 8 itu seperti apa ya bu? 

Coachee

Saya akan mulai supervisi akademik dengan percakapan pra observasi dengan menggunakan pola pikir coach, prinsip dan kompetensi coaching 

Coach

Untuk menyiapkan percakapan pra observasi dengan pendekatan coaching tersebut apa sih yang sudah Ibu lakukan?

Coachee

(bercerita hal-hal yang sudah dilakukan)

Coach

Jadi Ibu sudah melakukan itu semua ya .... Apa lagi yang perlu

ditambahkan atau dilakukan berbeda, untuk dapat melakukan supervisi akademik berbasis coaching?

Coachee

(berpikir dan mengatakan hal-hal yang perlu ditambahkan

dan dilakukan berbeda)

Coach

Apa lagi?

percakapan coaching berlanjut sampai coachee terbantu menemukan jalan keluar dari situasi yang dihadapi

Perhatikan contoh percakapan di atas. Guru yang menjadi coach hanya melontarkan pertanyaan untuk membantu rekan sejawatnya memetakan situasi dia saat ini dan situasi yang dia inginkan di masa depan. Dua pertanyaan terakhir adalah contoh pertanyaan untuk menghasilkan ide-ide baru. Cara-cara bertanya seperti di atas akan kita pelajari lagi di bagian Kompetensi Coaching dan Alur Percakapan Coaching TIRTA.

3.    Memaksimalkan Potensi

Untuk memaksimalkan potensi dan memberdayakan coachee, percakapan perlu diakhiri dengan suatu rencana tindak lanjut yang diputuskan oleh coachee, yaitu tindak lanjut yang paling mungkin dilakukan dan paling besar kemungkinan berhasilnya. Percakapan ditutup dengan kesimpulan yang dinyatakan oleh coachee sendiri.

 

Pertanyaan yang bisa dilontarkan oleh coach kepada coachee untuk bergerak maju adalah sebagai berikut:

1.    Jadi apa yang akan Bapak/Ibu lakukan setelah sesi ini dari alternatif-alternatif tadi?

2.    Kapan Bapak/Ibu akan melakukannya?

3.    Bagaimana Bapak/Ibu memastikan ini bisa berjalan?

4.    Siapa yang perlu dimintai dukungan?

Pertanyaan yang bisa dilontarkan oleh coach kepada coachee untuk meminta mereka menyimpulkan adalah sebagai berikut:

1.    Apa yang bisa Bapak/Ibu simpulkan dari percakapan kita barusan?

2.    Apa yang menjadi pandangan baru dari percakapan kita barusan?

 


Pola Pikir Seorang Coach

 


Pola Pikir Seorang Coach

 Pola pikir yang perlu dimiliki oleh seorang coach, yaitu:

1.    Fokus pada coachee/individu yang akan dikembangkan

2.    Bersikap terbuka dan ingin tahu

3.    Memiliki kesadaran diri yang kuat

4.    Mampu melihat peluang baru dan masa depan

Berikut adalah penjelasannya:

1.    Fokus pada Coachee

Pola pikir  yang pertama adalah fokus pada coachee. Pada saat kita mendampingi coachee, seorang coach harus memusatkan perhatian pada apa yang dipikirkan oleh coachee, perasaannya, apa yang membuatnya berpikir begitu, apa yang dia inginkan, bukan pada situasi yang dibawanya dalam percakapan.

Fokus diletakkan pada topik apapun yang dibawa oleh coachee, dapat membawa kemajuan pada coachee seusai kebutuhan dan keinginan coachee.  Berikut adalah percakapan yang menggambarkan seorang pengawas sekolah sebagai coach yang berfokus pada coachee yaitu kepala sekolah,  bukan pada situasi yang disampaikan dalam percakapan antara kepala sekolah (coachee) dan pengawas sekolah (coach). 

Coachee 

Saya kewalahan nih menghadapi salah satu guru yang sering sekali tidak hadir karena alasan pribadi.

Coach

Apa yang membuat Ibu kewalahan menghadapi guru ini? 

Coachee

Sulit sekali saya berkomunikasi dengan dia karena sepertinya dia tidak menganggap saya sebagai kepala sekolah mungkin karena saya baru dan usia saya yang jauh lebih muda darinya

Coach

Oh jadi itu yang sepertinya membuat Ibu merasa kewalahan ya? Lalu komunikasi seperti apa yang Ibu harapkan terjadi dengan guru ini? 

Coachee

Saya ingin guru tersebut mau mendengarkan dan menghargai saya sebagai kepala sekolah dan mentaati  peraturan yang ada untuk tidak sering absen dengan alasan yang sepertinya dibuat-buat

Coach

Jadi Ibu ingin guru tersebut mendengar dan menghargai Ibu sebagai kepala sekolah agar mau mentaati peraturan.. Nah menurut Ibu supaya guru tersebut mau menghargai Ibu dan mentaati peraturan yang berlaku, apa saja yang perlu Ibu lakukan? 

Coachee

(coachee bercerita hal-hal yang perlu dilakukan)

Perhatikan percakapan di atas, saat seorang kepala sekolah (coachee) menyampaikan situasi mengenai salah satu gurunya yang sering absen dengan alasan pribadi. Kemudian pengawas sekolah (coach) yang mendampinginya memfokuskan coachee kepada apa yang perlu dilakukan. Percakapan ini berlanjut kepada hal-hal apa saja yang kepala sekolah  tersebut perlu lakukan berbeda, apa yang perlu diketahui untuk dapat mencapai tujuan yaitu, sang guru mau mendengarkan dan menghargai kepala sekolah agar tidak sering absen dengan alasan pribadi.

2.    Bersikap Terbuka dan Ingin Tahu

Pola pikir yang kedua adalah bersifat terbuka dan ingin tahu. Coach harus selalu berpikiran terbuka terhadap pemikiran-pemikiran coachee. Ciri-ciri dari sikap terbuka dan ingin tahu ini adalah:

1.    Tidak menghakimi, melabel, berasumsi, atau menganalisis  pemikiran orang lain;

2.    Mampu menerima pemikiran orang lain dengan tenang, dan tidak menjadi emosional;

3.    Tetap menunjukkan rasa ingin tahu (curiosity) yang besar terhadap apa yang membuat orang lain memiliki pemikiran tertentu. 

Agar coach dapat bersikap terbuka, coach perlu selalu berpikir netral terhadap apa pun yang dikatakan atau dilakukan coachee. Jika ada penghakiman atau asumsi yang muncul di pikiran coach  atas jawaban coachee, maka coach  perlu mengubah pikiran tersebut dalam bentuk pertanyaan untuk mengonfirmasi penghakiman atau asumsi itu secara hati-hati. 

Contoh kalimat yang bisa diucapkan adalah “Pada saat saya mendengarkan apa yang Ibu ceritakan, saya menangkap adanya keinginan Ibu untuk terus berusaha sebisa Ibu. Apakah betul seperti itu Bu?”

Memelihara rasa ingin tahu membantu coach untuk memahami situasi coachee. Contoh kalimat yang bisa diucapkan adalah “Tadi Ibu mengatakan akan menurut saja apa yang dikatakan oleh guru senior tadi, dari mana datangnya pikiran itu?”

3.    Memiliki Kesadaran Diri yang Kuat

Kesadaran diri yang kuat membantu coach  untuk bisa menangkap adanya perubahan yang terjadi selama pembicaraan dengan coachee.  Coach perlu memiliki kemampuan untuk menangkap adanya emosi/energi yang timbul dan mempengaruhi percakapan, baik dari dalam diri sendiri maupun dari rekan coach.  

4.    Mampu Melihat Peluang Baru dan Masa Depan

Seorang coach  perlu memiliki kemampuan untuk  melihat peluang perkembangan yang ada dan bisa membawa coachee  untuk melihat masa depan. Apapun situasinya saat ini, yang masih bisa diubah adalah masa depan. Coaching juga mendorong seseorang untuk fokus pada solusi, bukan pada masalah, karena pada saat kita berfokus pada solusi, kita menjadi lebih bersemangat dibandingkan jika kita berfokus pada masalah.

Agar Coachee bisa melihat peluang baru dan fokus pada masa depan, Coach dapat mengajukan pertanyaan berikut:

1.    Tadi Bapak/Ibu sudah ceritakan situasi Bapak/Ibu saat ini, lantas situasi ideal apa yang Bapak/Ibu inginkan di masa depan?

2.    Tadi Bapak/Ibu sudah ceritakan tantangan/masalah yang Bapak/Ibu hadapi saat ini, lantas idealnya situasinya seperti apa?

3.    Apa saja yang bisa dijadikan pilihan untuk dapat mewujudkan situasi ideal tersebut?

4.    Peluang apa saja yang dimiliki?

5.    Apa yang perlu dilakukan untuk dapat memiliki peluang-peluang baru?

 

Kompetensi Inti Coaching

 

Berdasarkan ICF (International Coaching Federation) ada delapan kompetensi inti yang harus dimiliki oleh seorang coach.  Namun dalam konteks pendampingan pengawas sekolah kepada kepala sekolah yang perlu dipelajari terdapat tiga kompetensi inti yang penting untuk dipahami, diterapkan, dan dilatih secara terus menerus dalam menjalankan pendampingan, yaitu kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Untuk lebih lengkapnya mari kita pelajari pada penjelasan berikut.

1.     Kehadiran Penuh (Presence)

Kehadiran penuh/presence adalah kemampuan untuk bisa hadir utuh bagi coachee, sehingga badan, pikiran, hati selaras saat sedang melakukan percakapan coaching.  Kehadiran penuh adalah bagian dari kesadaran diri yang akan membantu memunculkan mindset sebagai coach dan juga kompetensi coaching lain saat kita melakukan percakapan coaching

Kehadiran penuh penting dilatih agar kita bisa selalu berusaha untuk bersikap terbuka, sabar, dan ingin tahu lebih banyak tentang  coachee.  Kemampuan untuk menghadirkan diri sepenuhnya dapat dilatih dan ditubuhkan melalui berbagai kegiatan sehari-hari maupun yang spesifik melatih terkoneksinya antara tubuh/indera, perasaan, pikiran, dan lingkungan.  Penting diingat tidak ada satu cara yang terbaik untuk semuanya karena setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk dapat menghadirkan presence.  Untuk itu temukan cara yang paling efektif untuk Bapak/Ibu agar bisa terus melatih diri dan menerapkannya sebelum dan selama melakukan percakapan coaching.

Bila kita hubungkan dengan pembelajaran sosial emosional yang berfokus pada pengembangan keterampilan sosial dan emosional, kompetensi seorang coach untuk hadir secara penuh ini sangat  berhubungan dengan kompetensi kesadaran diri dan pengelolaan diri. 

2.    Mendengarkan Aktif

Active listening atau mendengarkan aktif adalah kemampuan untuk fokus pada apa yang diucapkan oleh lawan bicara dan memahami makna di balik ucapannya. Kemampuan ini perlu dilatih agar bisa fokus pada kalimat-kalimat coachee dan bisa memahami keseluruhan makna yang tidak terucapkan, misalnya persepsi, prinsip hidup, kepercayaan, dan cara berpikir coachee. Mendengarkan (to listen) berbeda dengan mendengar (to hear). 

Seorang coach yang baik akan lebih banyak mendengarkan coachee nya dan lebih sedikit berbicara. Fokus dan pusat komunikasi adalah pada coachee, yakni mitra bicara.  Seorang coach harus dapat mengesampingkan agenda pribadi atau apa yang ada di pikirannya termasuk penilaian terhadap coachee

 

Agar dapat mendengarkan aktif, seorang coach membutuhkan pikiran yang tenang agar dapat menerima informasi secara netral dan objektif. Ada tiga hal yang biasanya menghambat seorang coach dalam mendengarkan aktif, yaitu:

1. Asumsi

Coach mempunyai anggapan tertentu tentang suatu situasi yang belum tentu benar dan belum tentu sesuai dengan realita yang sesungguhnya. Asumsi biasanya timbul karena kepercayaan pribadi coach yang dipengaruhi oleh pengalaman coach.

Contoh

Coachee mengatakan bahwa dia sedang merasa “tak berdaya”, dan coach memiliki pengalaman atau gambaran tertentu tentang situasi “tak berdaya” tersebut. Padahal gambaran “tak berdaya” coach sangat mungkin berbeda dengan “tak berdaya” yang dimaksud oleh coachee. Bila tanggapan coach seperti ini, maka coach sedang membuat asumsi pada pemikiran coachee:

Perasaan tidak berdaya yang Ibu alami mungkin dikarenakan Ibu kurang memiliki keterampilan yang membuat Ibu bangga pada diri Ibu sendiri”

Pada saat asumsi muncul, yang perlu dilakukan oleh coach adalah menyadarinya, dan kemudian mengkonfirmasinya kepada coachee. 

Sebagai contoh:
“Tadi Ibu mengatakan kalau Ibu merasa tak berdaya. Tak berdaya yang seperti apa yang Ibu maksud? Bisa diceritakan?”

 

2. Melabel/Menilai

Melabel/menilai dapat diartikan sebagai penilaian kita terhadap orang lain dari sudut Bapak/Ibu kita pribadi. Ini bisa terjadi sebelum dan pada saat coaching dilakukan.

Contoh melabel yang terjadi sebelum coaching adalah ketika coach akan melakukan coaching kepada seorang coachee yang dianggap “vokal”, “dominan”, “irit bicara”, “tertutup”, “bossy” dan lain sebagainya, itu semua adalah label yang diberikan kepada coachee. Walaupun coachee tersebut sering berperilaku yang membuat orang melabel dia seperti itu, coach perlu menghilangkan atau meminimalkan pikiran tersebut sebelum dan selama coaching. Agar coach bisa bebas dari pelabelan tersebut, ia dapat memfokuskan pada apa yang coachee lakukan dan katakan pada saat coaching. 

Pada saat coaching,  coachee menceritakan sebuah kejadian yang dia alami, kemudian muncul pemikiran coach yang bersifat melabel/menilai, seperti “dari ceritanya sepertinya dia orang yang kurang tegas. Jika penilaian seperti itu muncul, yang bisa coach lakukan adalah menyadarinya dan kemudian kembali fokus mendengarkan coachee dengan utuh dan netral, karena penilaian coach terhadap kejadian itu tidak penting dan bahkan berpotensi membuat coach sibuk dengan pikirannya sendiri dan menjadi tidak hadir secara utuh. Coach seharusnya fokus pada bagaimana coachee menilai dirinya sendiri.  Agar tidak memberi label atau menilai, coach dapat mengkonfirmasinya dengan sangat berhati-hati. Sebagai contoh:

“Dari apa yang barusan Bapak ceritakan dan juga cara Bapak menceritakannya, sepertinya ada perasaan putus asa di sana. Apakah betul seperti itu Pak?”

Contoh yang lain pada saat coachingcoachee mengatakan, saya sudah berkali-kali mengajari dia, tapi dia selalu mengulangi kesalahan yang sama dan coach merespon dengan mengatakan,  pasti Bapak/Ibu kurang jelas dalam menjelaskan ketika mengajari dia, makanya dia tidak paham. 

Agar tidak membuat label atau penilaian, coach dapat bertanya:

Bagaimana cara Bapak mengajari dia? Strategi apa yang belum Bapak/Ibu lakukan?

3. Asosiasi: mengaitkan dengan pengalaman pribadi.

Asosiasi terjadi ketika coach memiliki anggapan yang belum tentu benar dan sesuai dengan realita yang sesungguhnya terjadi. Pada saat coachee menceritakan sebuah kejadian yang dia alami, kemudian coach teringat dengan kejadian serupa yang ia alami, pada saat itu potensi asosiasi muncul. Potensi tersebut dapat menjadi asosiasi pada saat coach betul-betul mengaitkannya dengan pengalaman pribadinya dalam sesi coaching. Pada saat coach melakukan asosiasi, percakapan coach dan coachee akan berpotensi  mengacu kepada pengalaman coach. Hal ini bertentangan dengan mindset coaching yaitu berpusat pada coachee. Perilaku yang muncul pada coach bisa berbentuk pertanyaan yang mengarahkan atau kecenderungan untuk menasehati. 

Yang biasanya terjadi adalah coach menghubungkan cerita coachee dengan pengalaman pribadi coach. Padahal pengalaman coach sangat mungkin berbeda dengan yang dialami oleh coachee Coach perlu menyadari bila muncul potensi asosiasi, coach perlu mengingatkan diri bahwa percakapan ini adalah tentang coachee, kejadian yang pernah coach alami, tidak penting/relevan dalam percakapan ini. Dengan demikian coach bisa kembali fokus kepada coachee.

Coach juga perlu menyadari bahwa asosiasi bisa membuat coach menjadi terbawa emosi yang sedang dirasakan oleh coachee. Pada saat ini terjadi, maka coach perlu “melepaskan” diri dari emosi tersebut dan berusaha mengembalikan emosinya ke posisi netral, agar coach tetap bisa menjadi rekan berpikir coachee.

Masih dengan contoh sebelumnya ketika seorang coachee mengatakan ia merasa tidak berdaya, bila respons coach seperti ini maka coach sedang melakukan asosiasi.

“Dulu saya juga pernah merasa tak berdaya. Sebetulnya itu mudah diatasi, kita hanya perlu berpikir positif dan percaya bahwa kita pasti memiliki kekuatan-kekuatan.” 

Di sini terlihat coach mengasumsikan bahwa perasaan “tak berdaya” yang dirasakan coachee adalah sama dengan yang ia alami.

Bila kita hubungkan dengan pembelajaran sosial emosional yang berfokus pada pengembangan keterampilan sosial dan emosional, kompetensi seorang coach untuk bisa mendengarkan aktif ini sangat  berhubungan dengan kompetensi kesadaran sosial dan keterampilan sosial. Kompetensi ini melibatkan pemahaman dan empati terhadap sudut pandang Bapak/Ibu dan perasaan orang lain, meliputi keterampilan menunjukkan empati, menghargai keberagaman, dan memahami norma sosial dan etika. Kompetensi ini juga melibatkan keterampilan bagaimana membangun dan menjaga hubungan yang sehat dan bermakna dengan orang lain. 

3.    Mengajukan Pertanyaan Berbobot

Pertanyaan berbobot adalah pertanyaan yang diajukan dengan tujuan tertentu.  Pertanyaan yang diajukan seorang coach diharapkan menggugah orang untuk berpikir (thought-provoking)  dan menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan kompetensi. Berikut ciri-ciri pertanyaan berbobot: 

1.    Hasil mendengarkan aktif: Menggunakan kata kunci yang didapat dari mendengar aktif.

2.    Membantu coachee: Membuat coachee mengingat, merenung, dan merangkai fakta sehingga dapat memahami apa yang terjadi pada dirinya.

3.    Bersifat terbuka dan eksploratif: Struktur kalimat terbuka, membuat coachee harus menjawab sambal berpikir.

4.    Diajukan di momen yang tepat:  Tidak terburu-buru dalam mengajukan pertanyaan dan ditanyakan di waktu yang coachee sudah siap memprosesnya.

Kiat-kiat agar dapat mengajukan pertanyaan berbobot adalah sebagai berikut:

1.    Merangkum pernyataan-pernyataan coachee dari hasil mendengarkan aktif.

2.    Menggunakan kata: apa, bagaimana, seberapa, kapan dan dimana, dalam bentuk pertanyaan terbuka

3.    Menghindari penggunaan kata tanya “mengapa” - karena bisa terasa ada “judgement”.  Ganti kata “mengapa” dengan “apa sebabnya” atau “apa yang membuat”

4.    Mengajukan satu pertanyaan pada satu waktu, jangan memberondong

5.    Mengizinkan ada “jeda” atau “keheningan” setelah coachee selesai bicara, tidak buru-buru bertanya.  Juga izinkan ada keheningan saat coachee memproses pertanyaan

6.    Menggunakan nada suara yang positif dan memberdayakan

Berikut ini adalah salah satu referensi yang dapat kita gunakan untuk mengajukan pertanyaan berbobot hasil dari mendengarkan aktif yaitu RASA yang diperkenalkan oleh Julian Treasure.


Gambar 2. Receive, Appreciate, Summarize, dan Ask

RASA merupakan akronim dari ReceiveAppreciate, Summarize, dan Ask yang akan dijelaskan sebagai berikut:

R (Receive/Terima), yang berarti menerima/mendengarkan semua informasi yang disampaikan coachee.  Perhatikan kata kunci yang diucapkan. 

A (Appreciate/Apresiasi), yaitu memberikan apresiasi dengan merespon atau memberikan Bapak/Ibu bahwa coach mendengarkan coachee dengan cara mengangguk, kontak mata atau melontarkan “oh…” “ya…”.  

Coach juga sebaiknya memberikan perhatian dan hadir sepenuhnya untuk coachee dan tidak terganggu dengan situasi lain atau sibuk mencatat.

S (Summarize/Merangkum), saat coachee selesai bercerita, coach  merangkum untuk memastikan pemahaman yang sama.  Perhatikan dan gunakan kata kunci yang diucapkan coachee.  

Saat merangkum bisa gunakan potongan-potongan informasi yang telah didapatkan dari percakapan sebelumnya.  Minta coachee untuk konfirmasi apakah rangkuman sudah sesuai.

A (Ask/Tanya).  Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan saat mengajukan pertanyaan: 

1.    Ajukan pertanyaan berdasarkan apa yang didengar dan hasil merangkum (summarizing)

2.    Ajukan pertanyaan yang membuat pemahaman coachee lebih dalam tentang situasinya

3.    Pertanyaan harus merupakan hasil mendengarkan yang mengandung penggalian atas kata kunci atau emosi yang sudah dikonfirmasi

4.    Dalam format pertanyaan terbuka: menggunakan apa, bagaimana, seberapa, kapan, siapa atau di mana

5.    Hindari menggunakan pertanyaan tertutup: “mengapa” atau “apakah” atau “sudahkah” 

Pertanyaan dengan kata mengapa dapat membuat coachee merasa disudutkan dan disalahkan sehingga dapat menstimulasi munculnya jawaban yang berupa alasan atau excuse yang bersifat defensif. Padahal dalam proses coachingcoach diharapkan bertanya dengan netral dan objektif agar membuat coachee juga dapat berpikir dengan tenang dan reflektif tanpa merasa dihakimi atau diberi label. 

Saat mendengarkan aktif, elemen pertama yang perlu diperhatikan adalah menangkap  kata kunci yang terucap oleh coachee.  Kata kunci biasanya mengandung makna yang tidak terucapkan dan perlu digali agar coachee dapat terbantu untuk lebih memahami situasi yang sedang dihadapinya.  Ciri-ciri kata kunci biasanya:

1.    Diucapkan dengan intonasi tertentu: Tinggi, rendah, melambat, lebih cepat atau dengan tekanan

2.    Kadang diucapkan berulang kali: Jika satu kata, apalagi berupa kata sifat, diucapkan berulang, ini kata kunci, misal “Saya bingung/ragu/tidak tahu”

3.    Diwakili oleh metafora atau analogi atau kata unik dalam bahasa asing, misal: “Saya seperti musafir di padang pasir”, “Saya merasa stuck

4.    Tidak jarang disertai emosi

Bila kita hubungkan dengan pembelajaran sosial emosional yang berfokus pada pengembangan keterampilan sosial dan emosional, kompetensi seorang coach untuk bisa bertanya secara efektif ini sangat  berhubungan dengan kompetensi kesadaran diri karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh seorang coach adalah pertanyaan-pertanyaan yang mendorong individu untuk merenungkan pemikiran, emosi, dan tindakan mereka. Proses ini membantu individu mendapatkan kesadaran diri, menjelajahi sudut pandang Bapak/Ibu yang berbeda, dan menemukan solusi untuk tantangan mereka. Pembelajaran sosial emosional juga mendorong refleksi diri sebagai bagian dari pengembangan kesadaran diri dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.

Prinsip Coaching

  Prinsip Coaching Definisi  coaching  menurut ICF ( International Coaching Federation ) adalah “Hubungan kemitraan dengan klien, dalam su...