25 Agustus 2024

Kompetensi Inti Coaching

 

Berdasarkan ICF (International Coaching Federation) ada delapan kompetensi inti yang harus dimiliki oleh seorang coach.  Namun dalam konteks pendampingan pengawas sekolah kepada kepala sekolah yang perlu dipelajari terdapat tiga kompetensi inti yang penting untuk dipahami, diterapkan, dan dilatih secara terus menerus dalam menjalankan pendampingan, yaitu kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Untuk lebih lengkapnya mari kita pelajari pada penjelasan berikut.

1.     Kehadiran Penuh (Presence)

Kehadiran penuh/presence adalah kemampuan untuk bisa hadir utuh bagi coachee, sehingga badan, pikiran, hati selaras saat sedang melakukan percakapan coaching.  Kehadiran penuh adalah bagian dari kesadaran diri yang akan membantu memunculkan mindset sebagai coach dan juga kompetensi coaching lain saat kita melakukan percakapan coaching

Kehadiran penuh penting dilatih agar kita bisa selalu berusaha untuk bersikap terbuka, sabar, dan ingin tahu lebih banyak tentang  coachee.  Kemampuan untuk menghadirkan diri sepenuhnya dapat dilatih dan ditubuhkan melalui berbagai kegiatan sehari-hari maupun yang spesifik melatih terkoneksinya antara tubuh/indera, perasaan, pikiran, dan lingkungan.  Penting diingat tidak ada satu cara yang terbaik untuk semuanya karena setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk dapat menghadirkan presence.  Untuk itu temukan cara yang paling efektif untuk Bapak/Ibu agar bisa terus melatih diri dan menerapkannya sebelum dan selama melakukan percakapan coaching.

Bila kita hubungkan dengan pembelajaran sosial emosional yang berfokus pada pengembangan keterampilan sosial dan emosional, kompetensi seorang coach untuk hadir secara penuh ini sangat  berhubungan dengan kompetensi kesadaran diri dan pengelolaan diri. 

2.    Mendengarkan Aktif

Active listening atau mendengarkan aktif adalah kemampuan untuk fokus pada apa yang diucapkan oleh lawan bicara dan memahami makna di balik ucapannya. Kemampuan ini perlu dilatih agar bisa fokus pada kalimat-kalimat coachee dan bisa memahami keseluruhan makna yang tidak terucapkan, misalnya persepsi, prinsip hidup, kepercayaan, dan cara berpikir coachee. Mendengarkan (to listen) berbeda dengan mendengar (to hear). 

Seorang coach yang baik akan lebih banyak mendengarkan coachee nya dan lebih sedikit berbicara. Fokus dan pusat komunikasi adalah pada coachee, yakni mitra bicara.  Seorang coach harus dapat mengesampingkan agenda pribadi atau apa yang ada di pikirannya termasuk penilaian terhadap coachee

 

Agar dapat mendengarkan aktif, seorang coach membutuhkan pikiran yang tenang agar dapat menerima informasi secara netral dan objektif. Ada tiga hal yang biasanya menghambat seorang coach dalam mendengarkan aktif, yaitu:

1. Asumsi

Coach mempunyai anggapan tertentu tentang suatu situasi yang belum tentu benar dan belum tentu sesuai dengan realita yang sesungguhnya. Asumsi biasanya timbul karena kepercayaan pribadi coach yang dipengaruhi oleh pengalaman coach.

Contoh

Coachee mengatakan bahwa dia sedang merasa “tak berdaya”, dan coach memiliki pengalaman atau gambaran tertentu tentang situasi “tak berdaya” tersebut. Padahal gambaran “tak berdaya” coach sangat mungkin berbeda dengan “tak berdaya” yang dimaksud oleh coachee. Bila tanggapan coach seperti ini, maka coach sedang membuat asumsi pada pemikiran coachee:

Perasaan tidak berdaya yang Ibu alami mungkin dikarenakan Ibu kurang memiliki keterampilan yang membuat Ibu bangga pada diri Ibu sendiri”

Pada saat asumsi muncul, yang perlu dilakukan oleh coach adalah menyadarinya, dan kemudian mengkonfirmasinya kepada coachee. 

Sebagai contoh:
“Tadi Ibu mengatakan kalau Ibu merasa tak berdaya. Tak berdaya yang seperti apa yang Ibu maksud? Bisa diceritakan?”

 

2. Melabel/Menilai

Melabel/menilai dapat diartikan sebagai penilaian kita terhadap orang lain dari sudut Bapak/Ibu kita pribadi. Ini bisa terjadi sebelum dan pada saat coaching dilakukan.

Contoh melabel yang terjadi sebelum coaching adalah ketika coach akan melakukan coaching kepada seorang coachee yang dianggap “vokal”, “dominan”, “irit bicara”, “tertutup”, “bossy” dan lain sebagainya, itu semua adalah label yang diberikan kepada coachee. Walaupun coachee tersebut sering berperilaku yang membuat orang melabel dia seperti itu, coach perlu menghilangkan atau meminimalkan pikiran tersebut sebelum dan selama coaching. Agar coach bisa bebas dari pelabelan tersebut, ia dapat memfokuskan pada apa yang coachee lakukan dan katakan pada saat coaching. 

Pada saat coaching,  coachee menceritakan sebuah kejadian yang dia alami, kemudian muncul pemikiran coach yang bersifat melabel/menilai, seperti “dari ceritanya sepertinya dia orang yang kurang tegas. Jika penilaian seperti itu muncul, yang bisa coach lakukan adalah menyadarinya dan kemudian kembali fokus mendengarkan coachee dengan utuh dan netral, karena penilaian coach terhadap kejadian itu tidak penting dan bahkan berpotensi membuat coach sibuk dengan pikirannya sendiri dan menjadi tidak hadir secara utuh. Coach seharusnya fokus pada bagaimana coachee menilai dirinya sendiri.  Agar tidak memberi label atau menilai, coach dapat mengkonfirmasinya dengan sangat berhati-hati. Sebagai contoh:

“Dari apa yang barusan Bapak ceritakan dan juga cara Bapak menceritakannya, sepertinya ada perasaan putus asa di sana. Apakah betul seperti itu Pak?”

Contoh yang lain pada saat coachingcoachee mengatakan, saya sudah berkali-kali mengajari dia, tapi dia selalu mengulangi kesalahan yang sama dan coach merespon dengan mengatakan,  pasti Bapak/Ibu kurang jelas dalam menjelaskan ketika mengajari dia, makanya dia tidak paham. 

Agar tidak membuat label atau penilaian, coach dapat bertanya:

Bagaimana cara Bapak mengajari dia? Strategi apa yang belum Bapak/Ibu lakukan?

3. Asosiasi: mengaitkan dengan pengalaman pribadi.

Asosiasi terjadi ketika coach memiliki anggapan yang belum tentu benar dan sesuai dengan realita yang sesungguhnya terjadi. Pada saat coachee menceritakan sebuah kejadian yang dia alami, kemudian coach teringat dengan kejadian serupa yang ia alami, pada saat itu potensi asosiasi muncul. Potensi tersebut dapat menjadi asosiasi pada saat coach betul-betul mengaitkannya dengan pengalaman pribadinya dalam sesi coaching. Pada saat coach melakukan asosiasi, percakapan coach dan coachee akan berpotensi  mengacu kepada pengalaman coach. Hal ini bertentangan dengan mindset coaching yaitu berpusat pada coachee. Perilaku yang muncul pada coach bisa berbentuk pertanyaan yang mengarahkan atau kecenderungan untuk menasehati. 

Yang biasanya terjadi adalah coach menghubungkan cerita coachee dengan pengalaman pribadi coach. Padahal pengalaman coach sangat mungkin berbeda dengan yang dialami oleh coachee Coach perlu menyadari bila muncul potensi asosiasi, coach perlu mengingatkan diri bahwa percakapan ini adalah tentang coachee, kejadian yang pernah coach alami, tidak penting/relevan dalam percakapan ini. Dengan demikian coach bisa kembali fokus kepada coachee.

Coach juga perlu menyadari bahwa asosiasi bisa membuat coach menjadi terbawa emosi yang sedang dirasakan oleh coachee. Pada saat ini terjadi, maka coach perlu “melepaskan” diri dari emosi tersebut dan berusaha mengembalikan emosinya ke posisi netral, agar coach tetap bisa menjadi rekan berpikir coachee.

Masih dengan contoh sebelumnya ketika seorang coachee mengatakan ia merasa tidak berdaya, bila respons coach seperti ini maka coach sedang melakukan asosiasi.

“Dulu saya juga pernah merasa tak berdaya. Sebetulnya itu mudah diatasi, kita hanya perlu berpikir positif dan percaya bahwa kita pasti memiliki kekuatan-kekuatan.” 

Di sini terlihat coach mengasumsikan bahwa perasaan “tak berdaya” yang dirasakan coachee adalah sama dengan yang ia alami.

Bila kita hubungkan dengan pembelajaran sosial emosional yang berfokus pada pengembangan keterampilan sosial dan emosional, kompetensi seorang coach untuk bisa mendengarkan aktif ini sangat  berhubungan dengan kompetensi kesadaran sosial dan keterampilan sosial. Kompetensi ini melibatkan pemahaman dan empati terhadap sudut pandang Bapak/Ibu dan perasaan orang lain, meliputi keterampilan menunjukkan empati, menghargai keberagaman, dan memahami norma sosial dan etika. Kompetensi ini juga melibatkan keterampilan bagaimana membangun dan menjaga hubungan yang sehat dan bermakna dengan orang lain. 

3.    Mengajukan Pertanyaan Berbobot

Pertanyaan berbobot adalah pertanyaan yang diajukan dengan tujuan tertentu.  Pertanyaan yang diajukan seorang coach diharapkan menggugah orang untuk berpikir (thought-provoking)  dan menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan kompetensi. Berikut ciri-ciri pertanyaan berbobot: 

1.    Hasil mendengarkan aktif: Menggunakan kata kunci yang didapat dari mendengar aktif.

2.    Membantu coachee: Membuat coachee mengingat, merenung, dan merangkai fakta sehingga dapat memahami apa yang terjadi pada dirinya.

3.    Bersifat terbuka dan eksploratif: Struktur kalimat terbuka, membuat coachee harus menjawab sambal berpikir.

4.    Diajukan di momen yang tepat:  Tidak terburu-buru dalam mengajukan pertanyaan dan ditanyakan di waktu yang coachee sudah siap memprosesnya.

Kiat-kiat agar dapat mengajukan pertanyaan berbobot adalah sebagai berikut:

1.    Merangkum pernyataan-pernyataan coachee dari hasil mendengarkan aktif.

2.    Menggunakan kata: apa, bagaimana, seberapa, kapan dan dimana, dalam bentuk pertanyaan terbuka

3.    Menghindari penggunaan kata tanya “mengapa” - karena bisa terasa ada “judgement”.  Ganti kata “mengapa” dengan “apa sebabnya” atau “apa yang membuat”

4.    Mengajukan satu pertanyaan pada satu waktu, jangan memberondong

5.    Mengizinkan ada “jeda” atau “keheningan” setelah coachee selesai bicara, tidak buru-buru bertanya.  Juga izinkan ada keheningan saat coachee memproses pertanyaan

6.    Menggunakan nada suara yang positif dan memberdayakan

Berikut ini adalah salah satu referensi yang dapat kita gunakan untuk mengajukan pertanyaan berbobot hasil dari mendengarkan aktif yaitu RASA yang diperkenalkan oleh Julian Treasure.


Gambar 2. Receive, Appreciate, Summarize, dan Ask

RASA merupakan akronim dari ReceiveAppreciate, Summarize, dan Ask yang akan dijelaskan sebagai berikut:

R (Receive/Terima), yang berarti menerima/mendengarkan semua informasi yang disampaikan coachee.  Perhatikan kata kunci yang diucapkan. 

A (Appreciate/Apresiasi), yaitu memberikan apresiasi dengan merespon atau memberikan Bapak/Ibu bahwa coach mendengarkan coachee dengan cara mengangguk, kontak mata atau melontarkan “oh…” “ya…”.  

Coach juga sebaiknya memberikan perhatian dan hadir sepenuhnya untuk coachee dan tidak terganggu dengan situasi lain atau sibuk mencatat.

S (Summarize/Merangkum), saat coachee selesai bercerita, coach  merangkum untuk memastikan pemahaman yang sama.  Perhatikan dan gunakan kata kunci yang diucapkan coachee.  

Saat merangkum bisa gunakan potongan-potongan informasi yang telah didapatkan dari percakapan sebelumnya.  Minta coachee untuk konfirmasi apakah rangkuman sudah sesuai.

A (Ask/Tanya).  Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan saat mengajukan pertanyaan: 

1.    Ajukan pertanyaan berdasarkan apa yang didengar dan hasil merangkum (summarizing)

2.    Ajukan pertanyaan yang membuat pemahaman coachee lebih dalam tentang situasinya

3.    Pertanyaan harus merupakan hasil mendengarkan yang mengandung penggalian atas kata kunci atau emosi yang sudah dikonfirmasi

4.    Dalam format pertanyaan terbuka: menggunakan apa, bagaimana, seberapa, kapan, siapa atau di mana

5.    Hindari menggunakan pertanyaan tertutup: “mengapa” atau “apakah” atau “sudahkah” 

Pertanyaan dengan kata mengapa dapat membuat coachee merasa disudutkan dan disalahkan sehingga dapat menstimulasi munculnya jawaban yang berupa alasan atau excuse yang bersifat defensif. Padahal dalam proses coachingcoach diharapkan bertanya dengan netral dan objektif agar membuat coachee juga dapat berpikir dengan tenang dan reflektif tanpa merasa dihakimi atau diberi label. 

Saat mendengarkan aktif, elemen pertama yang perlu diperhatikan adalah menangkap  kata kunci yang terucap oleh coachee.  Kata kunci biasanya mengandung makna yang tidak terucapkan dan perlu digali agar coachee dapat terbantu untuk lebih memahami situasi yang sedang dihadapinya.  Ciri-ciri kata kunci biasanya:

1.    Diucapkan dengan intonasi tertentu: Tinggi, rendah, melambat, lebih cepat atau dengan tekanan

2.    Kadang diucapkan berulang kali: Jika satu kata, apalagi berupa kata sifat, diucapkan berulang, ini kata kunci, misal “Saya bingung/ragu/tidak tahu”

3.    Diwakili oleh metafora atau analogi atau kata unik dalam bahasa asing, misal: “Saya seperti musafir di padang pasir”, “Saya merasa stuck

4.    Tidak jarang disertai emosi

Bila kita hubungkan dengan pembelajaran sosial emosional yang berfokus pada pengembangan keterampilan sosial dan emosional, kompetensi seorang coach untuk bisa bertanya secara efektif ini sangat  berhubungan dengan kompetensi kesadaran diri karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh seorang coach adalah pertanyaan-pertanyaan yang mendorong individu untuk merenungkan pemikiran, emosi, dan tindakan mereka. Proses ini membantu individu mendapatkan kesadaran diri, menjelajahi sudut pandang Bapak/Ibu yang berbeda, dan menemukan solusi untuk tantangan mereka. Pembelajaran sosial emosional juga mendorong refleksi diri sebagai bagian dari pengembangan kesadaran diri dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Prinsip Coaching

  Prinsip Coaching Definisi  coaching  menurut ICF ( International Coaching Federation ) adalah “Hubungan kemitraan dengan klien, dalam su...