Berdasarkan ICF (International Coaching Federation) ada delapan kompetensi inti yang harus dimiliki oleh seorang coach. Namun dalam konteks pendampingan pengawas sekolah kepada kepala sekolah yang perlu dipelajari terdapat tiga kompetensi inti yang penting untuk dipahami, diterapkan, dan dilatih secara terus menerus dalam menjalankan pendampingan, yaitu kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Untuk lebih lengkapnya mari kita pelajari pada penjelasan berikut.
1. Kehadiran Penuh (Presence)
Kehadiran penuh/presence adalah
kemampuan untuk bisa hadir utuh bagi coachee, sehingga badan,
pikiran, hati selaras saat sedang melakukan percakapan coaching.
Kehadiran penuh adalah bagian dari kesadaran diri yang akan membantu memunculkan mindset sebagai coach dan
juga kompetensi coaching lain saat kita melakukan percakapan coaching.
Kehadiran penuh
penting dilatih agar kita bisa selalu berusaha untuk bersikap terbuka, sabar,
dan ingin tahu lebih banyak tentang coachee. Kemampuan
untuk menghadirkan diri sepenuhnya dapat dilatih dan ditubuhkan melalui
berbagai kegiatan sehari-hari maupun yang spesifik melatih terkoneksinya antara
tubuh/indera, perasaan, pikiran, dan lingkungan. Penting diingat
tidak ada satu cara yang terbaik untuk semuanya karena setiap orang memiliki
caranya masing-masing untuk dapat menghadirkan presence.
Untuk itu temukan cara yang paling efektif untuk Bapak/Ibu agar bisa terus
melatih diri dan menerapkannya sebelum dan selama melakukan percakapan coaching.
Bila kita hubungkan
dengan pembelajaran sosial emosional yang berfokus pada pengembangan
keterampilan sosial dan emosional, kompetensi seorang coach untuk
hadir secara penuh ini sangat berhubungan dengan kompetensi kesadaran
diri dan pengelolaan diri.
2. Mendengarkan Aktif
Active listening atau mendengarkan aktif adalah kemampuan untuk fokus pada
apa yang diucapkan oleh lawan bicara dan memahami makna di balik ucapannya.
Kemampuan ini perlu dilatih agar bisa fokus pada kalimat-kalimat coachee dan
bisa memahami keseluruhan makna yang tidak terucapkan, misalnya persepsi,
prinsip hidup, kepercayaan, dan cara berpikir coachee.
Mendengarkan (to listen) berbeda dengan mendengar (to
hear).
Seorang coach yang baik akan lebih banyak
mendengarkan coachee nya dan lebih sedikit berbicara. Fokus
dan pusat komunikasi adalah pada coachee, yakni mitra
bicara. Seorang coach harus dapat mengesampingkan agenda
pribadi atau apa yang ada di pikirannya termasuk penilaian terhadap coachee.
Agar dapat mendengarkan aktif, seorang coach membutuhkan
pikiran yang tenang agar dapat menerima informasi secara netral dan
objektif. Ada tiga hal yang biasanya menghambat seorang coach dalam
mendengarkan aktif, yaitu:
1. Asumsi
Coach mempunyai anggapan tertentu tentang suatu situasi yang belum
tentu benar dan belum tentu sesuai dengan realita yang sesungguhnya. Asumsi
biasanya timbul karena kepercayaan pribadi coach yang
dipengaruhi oleh pengalaman coach.
Contoh:
Coachee mengatakan bahwa dia sedang merasa “tak
berdaya”, dan coach memiliki pengalaman atau gambaran
tertentu tentang situasi “tak berdaya” tersebut. Padahal gambaran “tak
berdaya” coach sangat mungkin berbeda dengan “tak berdaya”
yang dimaksud oleh coachee. Bila tanggapan coach seperti
ini, maka coach sedang membuat asumsi pada pemikiran coachee:
“Perasaan tidak berdaya yang Ibu alami
mungkin dikarenakan Ibu kurang memiliki keterampilan yang membuat Ibu bangga
pada diri Ibu sendiri”.
Pada saat asumsi muncul, yang perlu dilakukan
oleh coach adalah menyadarinya, dan kemudian mengkonfirmasinya
kepada coachee.
Sebagai contoh:
“Tadi Ibu mengatakan kalau Ibu merasa tak berdaya. Tak berdaya yang seperti
apa yang Ibu maksud? Bisa diceritakan?”
2. Melabel/Menilai
Melabel/menilai dapat diartikan sebagai
penilaian kita terhadap orang lain dari sudut Bapak/Ibu kita pribadi. Ini bisa
terjadi sebelum dan pada saat coaching dilakukan.
Contoh melabel yang
terjadi sebelum coaching adalah ketika coach akan melakukan coaching kepada
seorang coachee yang dianggap “vokal”, “dominan”, “irit
bicara”, “tertutup”, “bossy” dan lain sebagainya, itu semua adalah label
yang diberikan kepada coachee. Walaupun coachee tersebut
sering berperilaku yang membuat orang melabel dia seperti itu, coach perlu
menghilangkan atau meminimalkan pikiran tersebut sebelum dan selama coaching.
Agar coach bisa bebas dari pelabelan tersebut, ia dapat
memfokuskan pada apa yang coachee lakukan dan katakan pada
saat coaching.
Pada saat coaching, coachee menceritakan
sebuah kejadian yang dia alami, kemudian muncul pemikiran coach yang
bersifat melabel/menilai, seperti “dari ceritanya sepertinya dia orang yang
kurang tegas. Jika penilaian seperti itu muncul, yang bisa coach lakukan
adalah menyadarinya dan kemudian kembali fokus mendengarkan coachee dengan
utuh dan netral, karena penilaian coach terhadap
kejadian itu tidak penting dan bahkan berpotensi membuat coach sibuk
dengan pikirannya sendiri dan menjadi tidak hadir secara utuh. Coach seharusnya
fokus pada bagaimana coachee menilai dirinya sendiri.
Agar tidak memberi label atau menilai, coach dapat
mengkonfirmasinya dengan sangat berhati-hati. Sebagai contoh:
“Dari apa yang barusan
Bapak ceritakan dan juga cara Bapak menceritakannya, sepertinya ada perasaan
putus asa di sana. Apakah betul seperti itu Pak?”
Contoh yang lain pada
saat coaching, coachee mengatakan, saya
sudah berkali-kali mengajari dia, tapi dia selalu mengulangi kesalahan yang
sama dan coach merespon dengan
mengatakan, pasti Bapak/Ibu kurang jelas dalam menjelaskan ketika
mengajari dia, makanya dia tidak paham.
Agar tidak membuat
label atau penilaian, coach dapat bertanya:
Bagaimana cara Bapak
mengajari dia? Strategi apa yang belum Bapak/Ibu lakukan?
3. Asosiasi: mengaitkan dengan pengalaman
pribadi.
Asosiasi terjadi
ketika coach memiliki anggapan yang belum tentu benar dan
sesuai dengan realita yang sesungguhnya terjadi. Pada saat coachee menceritakan
sebuah kejadian yang dia alami, kemudian coach teringat dengan
kejadian serupa yang ia alami, pada saat itu potensi asosiasi muncul. Potensi
tersebut dapat menjadi asosiasi pada saat coach betul-betul
mengaitkannya dengan pengalaman pribadinya dalam sesi coaching.
Pada saat coach melakukan asosiasi, percakapan coach dan coachee akan
berpotensi mengacu kepada pengalaman coach. Hal ini
bertentangan dengan mindset coaching yaitu
berpusat pada coachee. Perilaku yang muncul pada coach bisa
berbentuk pertanyaan yang mengarahkan atau kecenderungan untuk menasehati.
Yang biasanya terjadi
adalah coach menghubungkan cerita coachee dengan
pengalaman pribadi coach. Padahal pengalaman coach sangat
mungkin berbeda dengan yang dialami oleh coachee. Coach perlu
menyadari bila muncul potensi asosiasi, coach perlu
mengingatkan diri bahwa percakapan ini adalah tentang coachee,
kejadian yang pernah coach alami, tidak penting/relevan dalam
percakapan ini. Dengan demikian coach bisa kembali fokus
kepada coachee.
Coach juga perlu
menyadari bahwa asosiasi bisa membuat coach menjadi terbawa
emosi yang sedang dirasakan oleh coachee. Pada saat ini terjadi,
maka coach perlu “melepaskan” diri dari emosi tersebut dan
berusaha mengembalikan emosinya ke posisi netral, agar coach tetap
bisa menjadi rekan berpikir coachee.
Masih dengan contoh
sebelumnya ketika seorang coachee mengatakan ia merasa tidak
berdaya, bila respons coach seperti ini maka coach sedang
melakukan asosiasi.
“Dulu saya juga pernah
merasa tak berdaya. Sebetulnya itu mudah diatasi, kita hanya perlu berpikir
positif dan percaya bahwa kita pasti memiliki kekuatan-kekuatan.”
Di sini terlihat coach mengasumsikan
bahwa perasaan “tak berdaya” yang dirasakan coachee adalah
sama dengan yang ia alami.
Bila kita hubungkan
dengan pembelajaran sosial emosional yang berfokus pada pengembangan keterampilan
sosial dan emosional, kompetensi seorang coach untuk bisa
mendengarkan aktif ini sangat berhubungan dengan kompetensi kesadaran
sosial dan keterampilan sosial. Kompetensi ini melibatkan pemahaman dan empati
terhadap sudut pandang Bapak/Ibu dan perasaan orang lain, meliputi keterampilan
menunjukkan empati, menghargai keberagaman, dan memahami norma sosial dan
etika. Kompetensi ini juga melibatkan keterampilan bagaimana membangun dan
menjaga hubungan yang sehat dan bermakna dengan orang lain.
3.
Mengajukan Pertanyaan Berbobot
Pertanyaan berbobot
adalah pertanyaan yang diajukan dengan tujuan tertentu. Pertanyaan yang
diajukan seorang coach diharapkan menggugah orang untuk
berpikir (thought-provoking) dan menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan
hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau
nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk
membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan kompetensi. Berikut ciri-ciri
pertanyaan berbobot:
1. Hasil mendengarkan
aktif: Menggunakan kata
kunci yang didapat dari mendengar aktif.
2. Membantu coachee: Membuat coachee mengingat,
merenung, dan merangkai fakta sehingga dapat memahami apa yang terjadi pada
dirinya.
3. Bersifat terbuka dan
eksploratif:
Struktur kalimat terbuka, membuat coachee harus menjawab
sambal berpikir.
4. Diajukan di momen yang
tepat: Tidak
terburu-buru dalam mengajukan pertanyaan dan ditanyakan di waktu yang coachee sudah
siap memprosesnya.
Kiat-kiat agar dapat
mengajukan pertanyaan berbobot adalah sebagai berikut:
1. Merangkum
pernyataan-pernyataan coachee dari hasil mendengarkan aktif.
2. Menggunakan kata: apa,
bagaimana, seberapa, kapan dan dimana, dalam bentuk pertanyaan terbuka
3. Menghindari penggunaan
kata tanya “mengapa” - karena bisa terasa ada “judgement”. Ganti
kata “mengapa” dengan “apa sebabnya” atau “apa yang membuat”
4. Mengajukan satu
pertanyaan pada satu waktu, jangan memberondong
5. Mengizinkan ada “jeda”
atau “keheningan” setelah coachee selesai bicara, tidak
buru-buru bertanya. Juga izinkan ada keheningan saat coachee memproses
pertanyaan
6. Menggunakan nada suara
yang positif dan memberdayakan
Berikut ini adalah
salah satu referensi yang dapat kita gunakan untuk mengajukan pertanyaan
berbobot hasil dari mendengarkan aktif yaitu RASA yang diperkenalkan oleh
Julian Treasure.
RASA merupakan
akronim dari Receive, Appreciate, Summarize,
dan Ask yang akan dijelaskan sebagai berikut:
R (Receive/Terima), yang berarti
menerima/mendengarkan semua informasi yang disampaikan coachee. Perhatikan
kata kunci yang diucapkan.
A (Appreciate/Apresiasi), yaitu memberikan
apresiasi dengan merespon atau memberikan Bapak/Ibu bahwa coach mendengarkan coachee dengan
cara mengangguk, kontak mata atau melontarkan “oh…” “ya…”.
Coach juga sebaiknya
memberikan perhatian dan hadir sepenuhnya untuk coachee dan tidak
terganggu dengan situasi lain atau sibuk mencatat.
S (Summarize/Merangkum), saat coachee selesai
bercerita, coach merangkum untuk memastikan pemahaman yang
sama. Perhatikan dan gunakan kata kunci yang diucapkan coachee.
Saat merangkum bisa
gunakan potongan-potongan informasi yang telah didapatkan dari percakapan
sebelumnya. Minta coachee untuk konfirmasi apakah
rangkuman sudah sesuai.
A (Ask/Tanya). Berikut ini
adalah hal-hal yang perlu diperhatikan saat mengajukan pertanyaan:
1. Ajukan pertanyaan
berdasarkan apa yang didengar dan hasil merangkum (summarizing)
2. Ajukan pertanyaan yang
membuat pemahaman coachee lebih dalam tentang situasinya
3. Pertanyaan harus
merupakan hasil mendengarkan yang mengandung penggalian atas kata kunci atau
emosi yang sudah dikonfirmasi
4. Dalam format
pertanyaan terbuka: menggunakan apa, bagaimana, seberapa, kapan, siapa
atau di mana
5. Hindari menggunakan pertanyaan
tertutup: “mengapa” atau “apakah” atau “sudahkah”
Pertanyaan dengan kata
mengapa dapat membuat coachee merasa
disudutkan dan disalahkan sehingga dapat menstimulasi munculnya jawaban yang
berupa alasan atau excuse yang bersifat defensif. Padahal dalam
proses coaching, coach diharapkan bertanya dengan
netral dan objektif agar membuat coachee juga dapat berpikir
dengan tenang dan reflektif tanpa merasa dihakimi atau diberi label.
Saat mendengarkan
aktif, elemen pertama yang perlu diperhatikan adalah menangkap
kata kunci yang terucap oleh coachee. Kata kunci biasanya
mengandung makna yang tidak terucapkan dan perlu digali agar coachee dapat
terbantu untuk lebih memahami situasi yang sedang dihadapinya. Ciri-ciri
kata kunci biasanya:
1. Diucapkan dengan intonasi
tertentu: Tinggi, rendah,
melambat, lebih cepat atau dengan tekanan
2. Kadang diucapkan
berulang kali:
Jika satu kata, apalagi berupa kata sifat, diucapkan berulang, ini kata kunci,
misal “Saya bingung/ragu/tidak tahu”
3. Diwakili oleh metafora
atau analogi atau kata unik dalam bahasa asing, misal: “Saya seperti musafir di padang
pasir”, “Saya merasa stuck”
4. Tidak jarang disertai
emosi
Bila kita hubungkan dengan pembelajaran sosial emosional yang berfokus pada pengembangan keterampilan sosial dan emosional, kompetensi seorang coach untuk bisa bertanya secara efektif ini sangat berhubungan dengan kompetensi kesadaran diri karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh seorang coach adalah pertanyaan-pertanyaan yang mendorong individu untuk merenungkan pemikiran, emosi, dan tindakan mereka. Proses ini membantu individu mendapatkan kesadaran diri, menjelajahi sudut pandang Bapak/Ibu yang berbeda, dan menemukan solusi untuk tantangan mereka. Pembelajaran sosial emosional juga mendorong refleksi diri sebagai bagian dari pengembangan kesadaran diri dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar